Jumat, 11 Desember 2015

Arini dan hal-hal yang belum sempat diucapkan

Kurang lebih empat bulan setelah kepergian mu, aku masih duduk termangu memikirkan hal-hal yang pernah kamu lakukan dan hal-hal yang belum sempat aku ucapkan. Semenjak kepergianmu, aku semakin menganggap diriku adalah seorang pengecut yang tak memiliki keberanian untuk mengatakan perasaanku yang sebenarnya. Arini, seumur hidupmu aku memanglah bukan siapa-siapa, aku tak pernah memberikan apa-apa untukmu. Karena memang aku belum pernah mengatakan apa-apa perihal perasaanku padamu.

Arini, sebenarnya sudah kucurahkan perasaan ku pada secarik kertas yang aku titipkan pada Ibumu. Namun, Ibumu telah lebih dahulu meninggalkanmu untuk selama-lamanya. Aku tahu bagaimana perasaanmu saat itu. Kamu yang harus menggantikan Ibumu mengurus rumah tangga, dan berjuang untuk menyekolahkan adik-adikmu. Arini, maafkan aku yang tidak ada saat itu, yang tidak sedikitpun membantumu menghadapi kesulitan hidup setelah Ibumu pergi.

Aku tidak menyangka akan secepat ini kamu pergi menyusul Ibumu ke pangkuan Ilahi. Apakah kamu sudah membaca surat ku yang aku titipkan pada Ibumu? Arini, aku tahu ini sudahlah terlambat, tidaklah ada artinya lagi. Tapi aku percaya bahwa kamu sudah mengetahui perasaanku yang begitu dalam padamu. Arini, ijinkan aku menyimpan perasaan ini untukmu yang entah sampai kapan. Biarkan hangatnya pelukanmu dulu, menghangatkan ku saat ini. Beristirahatlah dengan tenang Arini ku. Aku mencintaimu tanpa terhalang ruang dan waktu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar